Menurut penulisnya, berdasarkan keterangan dari A. Saiful Sinrang, kata Mandar berasal dari kata mandar yang berarti “Cahaya”; sementara menurut Darwis Hamzah berasal dari kata mandag yang berarti “Kuat”; selain itu ada pula yang berpendapat bahwa penyebutan itu diambil berdasarkan nama Sungai Mandar yang bermuara di pusat bekas Kerajaan Balanipa, sungai itu kini lebih dikenal dengan nama Sungai Balangnipa. Namun demikian tampak penulisnya menyatakan dengan jelas bahwa hal itu hanya diperkirakan (digunakan kata mungkin). Hal ini tentu mengarahkan perhatian kita pada adanya penyebutan Teluk Mandar dimana bermuara Sungai Balangnipa, sehingga diperkirakan kemungkinan dahulunya dikenal dengan penyebutan Sungai Mandar.
Latar Kesejarahan
Dalam salah satu naskah lokal (lontara) di Mandar ditemukan keterangan yang menyatakan bahwa manusia pertama yang datang ke daerah ini mendarat di hulu Sungai Sadang. Sementara dalam tulisan dari Salahuddin Mahmud (1984) dinyatakan bahwa Tomakaka yang pertama menetap di Ulu’ Sadang. Keterangan itu memberikan petunjuk bahwa pemukiman di daerah ini telah berlangsung jauh sebelum terjadi penurunan permukaan laut (masa glasial). Selain itu juga dapat dipahami bahwa penghuni daerah ini adalah Kelompok Migran yang datang dari daerah lain, diperkirakan dari daerah Cina Selatan, yang kemudian menetap dan membangun persekutuan masyarakat. Juga dapat berarti bahwa penduduk daerah pesisiran maupun daerah pedalaman bercikal bakal pada keturunan yang sama, yang oleh berbagai alasan, pertambahan penduduk , bencana alam, wabah penyakit atau karena persoalan adat dan sistem kekuasaan, berpindah dan membangun pemukiman baru.
Dalam tradisi lokal masyarakat Sulawesi Selatan diperoleh keterangan yang cukup memikat tentang persebaran pemukiman. Kisah kerajaan mitis di Rura yang bersifat teokratis, terjadinya persebaran penduduk ke berbagai penjuru daerah itu disebabkan karena raja Rura, Londong di Rura yang bergelar Sappang ri Galete berkehendak melakukan perkawinan antara anak-anak sendiri, yang laki-laki di kawinkan dengan yang puteri (insest), suata rencana yang dilarang para dewata. Menurut tradisi jika terjadi insest maka pasti dewata yang mendatangkan mala petaka yang besar, sehingga sebulum upacara pernikahan dilakukan para keluarga kerajaan dan rakyat yang tidak menyetujuinya tidak berangkat meninggalkan negerinya Tampak hal yang senada juga dijumpai dalam kisah Sawerigading yang berkeinginan untuk mempersunting saudara kembarnya, We Tenriabeng. Meskipun kisahnya mengarah pada pengembaraannya ke Cina untuk mempersunting sepupunya di Cina, We Cudai, namun karena ingin kembali ke Luwu, maka akhirnya ia ditarik ke paratiwi (ke bawa bumi) dan saudara kembarnya dimarairatkan ke dunia atas (boting langi). Tampaknya kisah-kisah ini mendasari aturan adat bagi penghukuman pelaku insest untuk didaerah dan ditenggelamkan ke air dalam, di danau atau di laut.
Akibat lain dari perbuatan insest adalah bencana dalam kehidupan masyarakat yang digambarkan bagaikan kehidupan yang kaos. Yang kuat memangsai yang lemah sehingga terjadi terus menerus perang tanding antar satu persekutuan dengan persekutuan lainnya. Dalam Masyarakat Sulawesi Selatan, kondisi itu diungkapkan dengan pernyataan bahwa kehidupan manusia sama seperti kehidupan ikan dilaut yang saling memangsai. Hal itu yang mendorong masyarakat senangtiasa bermohon kepada dewata kiranya dapat menemukan tokoh yang dapat menciptakan ketenteraman dan kedamaian. Hal itu terpenuhi dengan ditampilkan konsep Tumanurung, yang ditempatlkan menjadi tokoh pemersatu yang berhasil memulihkan kehidupan masyarakat, dan membangun tatanan pemerintahan yang terorganisir dalam bentuk monarkhi namun raja tidak memiliki kekuasaan mutlak karena dibentuk pula dewan hadat yang berfungsi legislatif dalam mengontrol kewenangan pemegang kendali politik.
Gambaran proses politik dengan konsep Tumanurung ini memiliki corak yang berbeda dengan pengkisahan sejarah dengan Mandar. Tumanurung lebih tampak sebagai tokoh pemula pemukiman yang kemudian tersebar ke berbagai daerah, yang pada prinsipnya untuk menunjukan bahwa penduduk Sulawesi Selatan, bahkan hingga
Sementara penyelesaian proses kehidupan masyarakat yang kaos itu terkisah dengan tampilnya I Manyambungi (Tamanyambungngi) yang dikenal juga dengan nama Todilaling. Ia adalah putera dari Tomakaka Napo, Pong ri Gadang. Ia mengembara dan diketahui pernah menjadi salah seorang pemimpin pemberani (Tobarani) Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) pada periode Tumaparissi Kalonna (1510-1546). Pada waktu menjadi pertentang di negerinya. Ia dipanggil pulang untuk membantu penyelesaian persoalan yang terjadi. Keberhasilan menyelesaikan perselisihan yang terjadi itu, menyebabkan ia dipilih dan diangkat menjadi pemegang kendali kekuasaan atas persekutuan itu dibentuk dari:
Keberhasilan dalam memulihkan dan menentramkan masyarakat dengan konsep menyatukan kelompok-kelompok Tomakaka, itu dilanjutkan pula oleh penerus pemegang kendali kekuasaan di kerajaan itu. Tomepayung, yang dinobatkan menggantikan I Manyambungi, tercatat berhasil mendamaikan dan menggabungkan lagi tiga Tomakaka, yaitu: Boroboro, Banato, dan Andau (. Ia juga memprakarsai Muktamar Tamenjarra yang menghasilkan persekutuan pitu Babana Binanga (PBB). Pada dasarnya pembentukan wadah ini merupakan wadah persekutuan Kerajaan-Kerajaan (bondgenootshappijke landen) dengan menempatkan Kerajaan Balanipa sebagai pemimpin persekutuan itu dengan status sebagai “ayah” dan Kerajaan Sendana berstatus “ibu” dan Kerajaan lainnya sebagai anggota dengan status “anak”.
Dalam perkembangan kemudian, ia juga bergiat menjalin persekutuan dengan Kerajaan-Kerajaan kecil di daerah pedalaman yang telah membentuk persekutuan Pitu Ulunna Salu (PUS) yang terdiri dari kerajaan: Rantebulahan, Aralle, Mambi, Bambang, Matangnga, Messawa, dan Tabulahan. Permusyarawatan yang diselenggarakan di Luyo Tabasalah itu menghasilkan perjanjian Luyo (Allamungan Batu di Luyo). Isi pokok perjanjian itu adalah kesepakatan bersama untuk menjamin ketentraman kerajaan-kerajaan persekutuan. Itulah sebabnya pengaturannya adalah PUS mengemban kewajiban menangkal musuh yang datang dari arah pedalaman sementara PBB menangkal musuh yang datang dari arah laut. Persekutuan itu di ibaratkan bagaikan sebuah pupil mata yang terpadu warna hitam dan putih, paduan yang memungsikan mata. Menurut Darwis Hamzah, Perjanjian Luyo ini yang dikenal dengan istilah ‘Sipamandar’ yang berarti saling kuat menguatkan
Sesungguhnya, berdasar pada latar kesejarahaan, pembentukan kelompok Bugis dan
Interpretasi tentang pengadopsian kata mandar yang berarti sungai menjadi dasar penyebutan kewilayahan Mandar cukup beralasan Hal itu didasarkan pembentukan persekutuan menggunakan keterangan “Sungai” yaitu Pitu Babana Binanga (Tujuh Kerajaan Muara Sungai) dan Pitu Ulunna Salu (Tuju Kerajaan Hulu Sungai). Hal ini menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan di wilayah ini terbentuk di daerah aliran sungai, sehingga mendapat penyebutan Mandar yang berarti “Sungai”. Kenyataan menunjukan bahwa di daerah Mandar terdapat sejumlah besar sungai yang bermuara di Selat
Tinjauan Akhir
Gambaran periode kesejarahan daerah ini menunjukan bahwa penamaan Mandar telah mencakup wilayah yang meliputi dibagian utara Kerajaan Mamuju hingga ke Selatan Kerajaan Binuang dan bagian Timur Wilayah PUS. Dalam konsep kewilayahan sekarang meliputi Kabupaten daerah Tingkat II: Mamuju, Majene, Polewali Mamasa, dan Mamasa. Sesungguhnya penataan wilayah Kabupaten dalam kehidupan pemerintahan sekarang ini telah menggeser konsep kewilayahan Mandar, namun karena gagasan kewilayahan itu telah melahirkan pemahaman etnisitas bagi penduduk asli yang mendiami wilayah itu, maka konsep ini masih menghangat dan memiliki juga oleh penduduk Mamuju, Majene, dan Mamasa.
Mandar dengan berbagai interpretasi penamaannya dapat dipandang berpangkal dan berbasis pada Kerajaan Balanipa, yang Wilayahnya kini merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Polewali-Mamasa, sekarang minius wilayah Mamasa. Dipandang dari Latar Kesejarahan, daerah Kabupaten ini mengemban peran pemersatu, pencipta keteraturan dan ketertiban di wilayah PBB dan PUS, bahkan telah berpengaruh bagi penetapan kelompok etnis. Dengan demikian beralasan apabila pemekaran wilayah kabupaten ini mendorong munulnya gagasan untuk menempatkan kembali Kabupaten Polewali-Mamasa menjadi Kabupaten dengan mengeban nama Mandar.
Namun demikian patut dipikirkan mengingat nama Mandar telah mengikat kesatuan kaum yang lebih luas, bukan hanya Penduduk Kabupaten Polewali Mamasa. Hal itu berarti penamaan Kabupaten Mandar untuk satu bagian dari wilayah etnis Mandar akan dapat melabilkan ikatan emosional Kelompok Mandar. Namun bila penamaan itu mendapat dukungan dari semua Kelompok kaum yang telah mengidentifikasi diri menjadi Mandar, sebagai wujud pengembangan Sipamandar, hal itu dapat menjadi katup pengaman, bagi tampilnya Kabupaten Mandar sebagai nama baru Kabupaten Polewali-Mamasa.
Hal lain yang dapat dipertimbangkan adalah mencari nama lain. Penamaan Polewali lebih berpatokan pada nama pusat pemerintahan untuk seluruh wilayah Kekuasaannya. Terdapat beberapa nama yang perna teremban dan cukup beralasan untuk dijadikan nama, seperti: napo, Balanipa, dan Binuang. Latar sejarah menunjukan adanya keungulan yang muncul dari kerajaan-kerajaan dahulu dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat yang tertib dan tentram. Karena itu dapat diabadikan melalui akronim, untuk memperoleh penyebutan nama Kabupaten yang baru, sebagai dasar motivasi bagi pemerintah untuk melaksanakan pemerintah yang tertib dan tentram.
Perlu saya tambahkan bahwa Napo telah lama dikenal sebagai salah satu bandar niaga terpenting pada pesisir barat
thanks,. sebagai pemuda mandar harus mengetahui sejarah sukux sendiri sbelum mencari tau sejarah suku2 di sekelilingx!,. good..
BalasHapus